Branding Pariwisata Sumatera Barat: Sejarah Label Wisata

SUMATERA BARAT – Pada pertengahan abad ke-19, Sumatera Barat mulai menjadi destinasi wisata dan kota-kota serta objek wisatanya dijadikan produk yang menarik bagi para pengunjung. Dalam upaya memasarkan destinasi wisata ini, label, simbol, dan istilah khusus diberikan untuk menciptakan citra Branding Pariwisata Sumatera Barat yang menarik bagi para wisatawan.

Proses branding ini dimulai sejak kedatangan S.A. Buddings pada pertengahan dekade 1850-an. Buddings memberikan label “Paradijs van Sumatra” (Surga Sumatra) untuk Puncak Titi di Baso dan “der groosten Meren van den Indische Archipel” (danau terbesar di Nusantara) untuk Danau Singkarak. Label-label ini menonjolkan keindahan alam danau serta gunung.

Baca Juga : Imbauan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sumbar

Evolusi branding terkait erat dengan aktivitas wisatawan pertama dan selanjutnya, seperti H.J. Lion, Bickmore, dan Croockewit. Mereka memberikan label yang menciptakan citra positif terhadap kota-kota dan objek wisata di Sumatera Barat. Lion, misalnya, menggambarkan Padang sebagai “De Padanger zijn vrolijk en Padang is een Feeststad” (Orang Padang ramah dan Padang adalah kota pesta).

Branding Pariwisata Sumatera Barat: Sejarah Label Wisata

Pada awal abad ke-20, lembaga pariwisata dan perusahaan perkapalan Belanda, seperti Koninklijke Paketvaart-Maatschappij (KPM) dan Vereeniging Touristen-Verkeer (VTV), ikut serta dalam memberikan label dan simbol terhadap kota-kota dan objek wisata. Fokus branding bergeser dari aktivitas Belanda menjadi penekanan pada keindahan alam, budaya Minangkabau, dan potensi khusus masing-masing kota atau daerah.

Baca Juga : Sebelas Kepala Daerah Ajukan Judicial Review Pasal-Pasal Kontroversial UU Pilkada

Beberapa contoh label pada awal abad ke-20 melibatkan Fort de Kock (Bukittinggi), Payakumbuh, dan Sawahlunto. Fort de Kock mendapatkan empat label sekaligus, menekankan keindahan alam, budaya Minangkabau, posisinya sebagai pusat matriarkat, dan sebagai kota pameran. Payakumbuh disebut sebagai “Sorrento van Sumatra” (Sorrento-nya Sumatra), menekankan kehidupan yang meriah. Sawahlunto mendapatkan label “Mijnstad” (Kota Tambang), menonjolkan aktivitas pertambangan batubara.

Perubahan fokus Branding Pariwisata Sumatera Barat terlihat dari keberadaan dan kepentingan Belanda menjadi penonjolan budaya dan aspek-aspek budaya Minangkabau. Pada awal abad ke-20, kebudayaan Minangkabau menjadi daya tarik utama yang menarik wisatawan ke Sumatera Barat.(*)

Buka chat
1
Scan the code
Hello 👋
Apa yang dapat kami bantu?