SUMATERA BARAT – Ahmad Hafizd, Ketua Bidang Ekonomi Digital Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumatera Barat, mengungkapkan bahwa sejumlah tantangan masih menghantui iklim investasi di Minangkabau, menyebabkan banyak investor enggan menanamkan modal. Dalam sebuah Diskusi Media berjudul “Tantangan Investasi dan Pembangunan Ekonomi di Sumbar” di Padang pada Selasa (19/12/2023), Hafizd menjelaskan bahwa suku bunga, tujuan keuangan, pengetahuan riset suatu daerah, toleransi risiko, dan masa investasi menjadi pertimbangan utama investor.
“Investasi besar ke Sumbar terkendala oleh berbagai faktor, termasuk rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM), kondisi APBD Sumbar, dan konsumsi masyarakat per kapita. Industri di Sumbar masih tergolong kecil, kecuali di sektor pariwisata,” ujarnya.
Hafizd menyoroti bahwa Sumbar masih memiliki potensi besar dalam sektor pariwisata, meskipun tidak tanpa tantangan. Selain pengaruh kunjungan wisatawan, harga tiket pesawat dan penginapan yang mahal menjadi hambatan. Ia juga menekankan bahwa budaya, makanan, dan alam menjadi daya tarik utama, namun belum dieksplorasi sepenuhnya.
“Tantangan lainnya adalah kurangnya perkembangan industri kreatif dan belum adanya peraturan daerah (Perda) yang mendukung. Kita belum memiliki narasi yang kuat untuk dijual ke mana-mana. Perlu penguatan budaya, SDM, dan pengembangan industri kreatif di daerah ini,” tambahnya.
Faktor infrastruktur ekonomi juga menjadi perhatian serius. Hafizd menyebutkan bahwa jalan tol yang belum selesai menjadi kendala utama. Menurutnya, infrastruktur ekonomi yang baik sangat mempengaruhi daya tarik investasi.
Dalam diskusi yang sama, Perwakilan Bidang Perencanaan Investasi Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP) Sumbar, Egi Juniardi, menyebutkan fluktuasi investasi di Sumbar sejak 2018 hingga 2023. Ia menyoroti masalah pelaporan yang belum pasti pada triwulan pertama, yang menyebabkan ketidakakuratan data.
“Egi mengungkapkan bahwa realisasi penanaman modal asing (PMA) sejak tahun 2021 sampai 2023 paling tinggi terdapat di Kabupaten Pasaman dengan karakteristik investasi di sektor perkebunan. Sementara, investasi PMA juga banyak terdapat di Kota Padang.”
Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang tertinggi ada di Kabupaten Padang Pariaman, terutama terkait pengembangan dan pembangunan jalan tol. Namun, Asnil Mardin, seorang Pengamat Sosial dari Universitas Negeri Padang, menyatakan bahwa hasil investasi yang ada belum memberikan dampak yang signifikan di sektor riil masyarakat.
“Asnil menyebutkan bahwa bisnis berinvestasi dengan memanfaatkan teknologi informasi belum tentu memberikan dampak langsung di sektor riil. Investasi di daerah, seperti di Padang Pariaman, tidak memberikan dampak kepastian di sektor riil,” jelasnya.
Diskusi tersebut juga menyoroti pentingnya dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan investasi untuk pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Meskipun ada dana CSR sebesar Rp65 miliar yang masuk ke Sumbar, sayangnya, penggunaannya lebih banyak untuk pencitraan dan kurang efektif dalam memberikan dampak positif bagi masyarakat di sektor riil.
Dengan berbagai permasalahan dan tantangan ini, pemerintah daerah dan pengusaha perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan investasi yang kondusif dan berkelanjutan di Sumbar.(*)