SUMATERA BARAT – Pada 15 Januari 1949, Belanda melancarkan penyerangan terhadap para pejuang Indonesia di Nagari Situjuah Batua, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Peristiwa tragis ini dikenal dengan nama Tragedi Situjuah dan terjadi pada masa Revolusi Fisik ketika Pemerintahan Indonesia gigih mempertahankan kemerdekaannya.
Hingga kini, Tragedi Situjuah tetap diingat dan dikenang. Di Nagari Situjuah Batua, terdapat Monumen PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) yang berdiri kokoh di tengah pasar sebagai lambang perlawanan. Pada tahun 2024, masyarakat Situjuah Batua masih setia melakukan peringatan dengan mengibarkan bendera merah putih di depan rumah selama sebulan penuh. Upacara peringatan dan ziarah ke makam para pahlawan yang gugur dalam tragedi tersebut juga dilakukan sebagai bentuk penghormatan.
Setiap Januari, masyarakat di Nagari Situjuah Batua memperingati Tragedi Situjuah dengan semangat patriotik, mengibarkan bendera merah putih selama sebulan. Peristiwa ini terjadi pada 15 Januari 1949, menelan korban sebanyak 69 pejuang kemerdekaan Indonesia.
Lokasi tragedi menjadi tempat bersejarah dengan makam sembilan pahlawan yang tewas dan monumen berupa batu prasasti dengan atap. Pemerintah juga mendirikan sebuah pustaka yang berisi arsip-arsip sejarah terkait Tragedi Situjuah.
Sebuah babak sejarah terlupakan muncul saat rapat rahasia pembentukan Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) selesai. Peluru senapan mesin Belanda tiba-tiba menghujani para peserta rapat, menandai dimulainya Tragedi Situjuah. Di tengah serangan, seorang pemimpin rapat, Chatib Sulaiman, dengan gagah berani menyelamatkan dokumen rahasia negara.
Namun, perhitungannya salah, dan Belanda berhasil mengetahui lokasi rapat, melancarkan serangan pada 15 Januari 1946. Chatib Sulaiman meregang nyawa setelah terkena tembakan, namun semangatnya untuk mempertahankan dokumen negara tetap kuat.
Sejarawan Sumatra Barat, Fikrul Hanif, mencatat bahwa penyerangan itu terjadi saat subuh, menewaskan beberapa tokoh penting termasuk Bupati Luak Lima Puluh, Arisun Sutan Alamsyah, dan pemimpin militer lainnya. Mereka dimakamkan di Lurah Kincia Situjuah Batua sebagai pahlawan Indonesia.
Tragedi ini juga menandai keberanian pejuang yang berhasil selamat seperti Engku Abdullah, Jahja Djalil, dan lainnya. Meski terlupakan dalam sejarah, peristiwa ini menunjukkan kegigihan perjuangan rakyat Indonesia dalam menghadapi penjajahan.(*)