RESPONRADIO.COM PADANG│MENTAWAI — Ombak Samudra Hindia yang tak pernah betul-betul tenang menjadi latar bagi program pengabdian masyarakat yang dijalankan oleh Universitas Negeri Padang (UNP) di Desa Tuapejat, Kecamatan Sipora Utara.
Program Mahasiswa Berdampak (PM-BEM) 2025 merupakan bagian dari Program Pengabdian kepada Masyarakat, kolaborasi antara dosen dan mahasiswa BEM-KM UNP yang diketuai oleh Dr. Friyatmi, M.Pd mengusung penguatan resiliensi bencana dan ekonomi biru bagi masyarakat pesisir.
Pendanaan program ini bersumber dari Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DPPM), yang merupakan bagian dari Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Selain itu, kegiatan ini mendapat apresiasi tinggi dari pemerintah daerah, ditandai dengan partisipasi pimpinan daerah dalam acara pembukaan. Perwakilan tersebut mencakup Staf Ahli Bupati Kepulauan Mentawai (mewakili Bupati), Kepala BPBD, dan Kasat POLPP Damkar Kepulauan Mentawai.
Kegiatan berlangsung sejak Agustus hingga Desember 2025 dan diarahkan untuk menjawab dua tantangan utama masyarakat pesisir Mentawai: tingginya risiko bencana serta ketergantungan ekonomi pada hasil laut segar yang rentan rusak.
Mahasiswa hadir sebagai fasilitator, bukan sekadar relawan. Mereka mendampingi warga memahami risiko lingkungan sekaligus memperkenalkan teknologi sederhana untuk meningkatkan nilai tambah hasil laut.
Menyusun Kesiapsiagaan Berbasis Komunitas Lokal
Mengingat tingkat kerentanan yang sangat tinggi terhadap gempa dan tsunami, mitigasi bencana menjadi elemen krusial dalam program di Mentawai. Oleh karena itu, mahasiswa dan masyarakat setempat berkolaborasi dalam menyusun peta rawan bencana menggunakan pendekatan partisipatif
Proses ini melibatkan partisipasi aktif warga dalam penentuan titik aman, rute penyelamatan, dan lokasi yang dianggap berisiko tinggi. Sebagai hasil dari identifikasi ini, plang jalur evakuasi sederhana dipasang di beberapa area desa, berfungsi sebagai penunjuk arah yang sangat vital saat situasi darurat bencana.
Selain itu, program ini juga mengadakan edukasi dan pelatihan bagi warga setempat. Kegiatan ini bertujuan untuk mengajarkan prosedur perlindungan diri hingga melaksanakan simulasi evakuasi sebagai latihan praktis.
Mengembangkan Ekonomi Biru Berbasis Teknologi Sederhana
Selain risiko bencana, masyarakat Tuapejat menghadapi persoalan ekonomi berupa tingginya post-harvest loss yang mencapai sekitar 30 persen. Ketergantungan pada penjualan ikan segar membuat pendapatan nelayan tidak stabil, terutama saat cuaca buruk.
Mahasiswa berinisiatif mengatasi masalah dengan memperkenalkan pelatihan diversifikasi produk olahan ikan, seperti rendang ikan, ikan suwir balado, bakso ikan, dan ikan asin. Pelatihan ini memberdayakan kelompok ibu-ibu nelayan sebagai aktor utama, di mana mereka menjadikan dapur-dapur rumah panggung sebagai pusat eksperimen resep baru.
Tim juga menyediakan mesin pengering ikan sebagai teknologi tepat guna untuk mendorong produktifitas ekonomi nelayan. Dengan pengeringan yang lebih higienis dan stabil, ikan dapat disimpan lebih lama dan memiliki nilai jual yang lebih tinggi.
Pendampingan manajemen usaha digital marketing kemudian diberikan untuk memastikan pengolahan tidak berhenti sebagai kegiatan sementara namun menjadi kegiatan ekonomi yang berkelanjutan.
Jejak yang meninggalkan perbahan
PM-BEM UNP 2025 memperlihatkan bagaimana intervensi kecil dapat menghasilkan perubahan berlapis. Langkah-langkah mitigasi menciptakan pemahaman baru tentang pentingnya resiliensi. Sementara pelatihan ekonomi biru membuka peluang pendapatan tambahan bagi keluarga nelayan.
Program ini juga beririsan dengan agenda global—dari adaptasi perubahan iklim hingga pembangunan ekonomi berkelanjutan—serta menjadi model kolaborasi antara kampus, pemerintah lokal, dan komunitas pesisir.
Di Tuapejat, dampak itu kini terlihat: anak-anak yang lebih siap menghadapi bencana, plang-plang evakuasi yang memberi arah, dan kelompok nelayan yang mulai mengolah hasil laut dengan cara berbeda.
Di Mentawai, perubahan semacam ini mungkin tampak kecil. Namun di daerah rawan bencana, setiap langkah kecil adalah bagian dari perjalanan panjang menuju ketangguhan.

