RESPONRADIO.COM PADANG│RIO DE JANEIRO — Tragedi berdarah di Brasil yang menewaskan 132 orang dalam razia polisi terhadap geng narkoba Red Command bukan sekadar insiden keamanan biasa. Di balik operasi besar-besaran yang mengguncang Rio de Janeiro itu, tersimpan akar masalah sosial, politik, dan ekonomi yang menahun di negeri Samba.
Razia yang berlangsung pada Selasa (28/10) dini hari itu dilakukan tanpa koordinasi pemerintah pusat dan memicu kecaman dari berbagai pihak, termasuk kelompok hak asasi manusia. Banyak pihak menilai, operasi ini merupakan puncak dari kegagalan negara menanggulangi kemiskinan, korupsi, dan kekerasan sistemik di wilayah kumuh Rio.
Warisan Lama, Geng Narkoba Lahir dari Penjara
Geng Comando Vermelho (Red Command) yang menjadi sasaran utama razia, terbentuk pada tahun 1970-an di dalam penjara Rio de Janeiro. Saat itu, narapidana kriminal dan politik hidup berdampingan di balik jeruji, melahirkan jaringan solidaritas yang berubah menjadi organisasi kejahatan.
Seiring waktu, Comando Vermelho berkembang menjadi kartel narkoba paling berpengaruh di Amerika Latin, dengan jaringan hingga ke Amazon dan sebagian wilayah Paraguay. Mereka menguasai perdagangan kokain, senjata, dan aktivitas pemerasan.
Namun, kekuatan mereka tak hanya karena kemampuan militer. Korupsi di tubuh aparat dan pemerintah lokal membuat geng ini leluasa beroperasi selama puluhan tahun.
Kemiskinan di Favela Jadi Lahan Subur Kejahatan
Favela-favela seperti Complexo da Penha dan Complexo do Alemão menjadi episentrum konflik karena kemiskinan ekstrem, pengangguran, dan kurangnya akses pendidikan.
Warga di sana sering kali bergantung pada geng untuk perlindungan dan kebutuhan ekonomi sehari-hari. Para pengedar narkoba bahkan berperan sebagai otoritas lokal, menggantikan fungsi negara yang absen.
Ketika polisi melancarkan operasi besar-besaran, bentrokan pun tak terhindarkan, karena bagi sebagian warga, aparat dianggap sebagai ancaman, bukan pelindung.
Operasi Tanpa Koordinasi dan Minim Pengawasan
Menteri Kehakiman Brasil, Ricardo Lewandowski, mengungkapkan Presiden Luiz Inácio Lula da Silva tidak mengetahui adanya operasi tersebut. Pemerintah federal bahkan tidak dilibatkan dalam perencanaan dan eksekusi razia, yang diinisiasi langsung oleh Gubernur Negara Bagian Rio de Janeiro, Claudio Castro.
Banyak analis menilai, tindakan ini menunjukkan adanya persaingan politik dan lemahnya koordinasi keamanan nasional. Operasi brutal ini justru memicu krisis kepercayaan publik terhadap aparat dan membuka peluang terjadinya pelanggaran HAM.
Pola Kekerasan yang Terus Berulang
Kasus ini bukan yang pertama. Dalam lima tahun terakhir, operasi antinarkoba di favela Rio telah menewaskan lebih dari 1.500 orang, sebagian besar warga sipil.
Organisasi HAM seperti Amnesty International menuding polisi Brasil melakukan “eksekusi di luar hukum”, sementara pemerintah daerah berdalih tindakan itu diperlukan untuk menjaga keamanan publik.
“Negara tidak bisa terus membunuh rakyatnya dengan dalih perang melawan narkoba,” ujar juru bicara Amnesty di Brasil, dikutip Al Jazeera.
Akar Masalah, Ketimpangan Sosial dan Korupsi Aparat
Para pengamat menilai razia brutal itu merupakan cermin dari persoalan struktural yang mengakar dalam masyarakat Brasil. Ketimpangan ekonomi membuat jutaan warga hidup di bawah garis kemiskinan, sementara korupsi membuat dana publik tak pernah benar-benar menyentuh masyarakat bawah.
Laporan lembaga antikorupsi Transparência Brasil menyebut, lebih dari 40% pejabat lokal di Rio de Janeiro pernah diselidiki karena menerima suap dari jaringan narkoba.
Pemerintah Didesak Reformasi Keamanan Nasional
Tragedi ini menimbulkan gelombang protes di berbagai kota besar Brasil. Aktivis, tokoh masyarakat, dan akademisi menuntut Presiden Lula untuk melakukan reformasi total sektor kepolisian dan kebijakan antinarkoba.
Banyak pihak menilai, pendekatan militeristik yang hanya menimbulkan korban jiwa harus diganti dengan pendekatan sosial dan ekonomi, termasuk pemberdayaan warga di favela.
“Perang terhadap narkoba di Brasil bukan hanya soal senjata dan polisi. Ini soal ketidakadilan sosial yang dibiarkan berakar terlalu lama,” ujar sosiolog Universidade Federal do Rio de Janeiro, Dr. Mariana Alves.
Operasi brutal di Rio de Janeiro menjadi cermin rapuhnya struktur sosial dan hukum di Brasil.
Di balik angka 132 nyawa yang melayang, tersimpan cerita panjang tentang kemiskinan, korupsi, dan ketidakadilan yang terus berulang.
Selama akar masalah tak diselesaikan, perang melawan narkoba di Brasil bukan hanya akan memakan korban dari sisi geng kriminal, tetapi juga dari rakyatnya sendiri.

