PADANG PARIAMAN – Dalam hiruk-pikuk perjuangan melawan penjajah Belanda, terdapat satu kisah yang mungkin terlupakan oleh sejarah namun begitu memikat hati: kisah seorang pahlawan perempuan bernama Siti Manggopoh. Lahir pada 15 Juni 1881 di Nagari Manggopoh, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, Siti Manggopoh adalah anak bungsu dari enam bersaudara, satu-satunya perempuan di antara mereka.
Waktu itu, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan formal terbatas, namun semangat belajar Siti tak terbendung. Bergabung dengan lima kakak laki-lakinya, ia menuntut ilmu di surau, memperdalam agama, dan bahkan mempelajari seni bela diri. Meskipun namanya tidak sepopuler Raden Ajeng Kartini atau sehebat Cut Nyak Dhien, Siti Manggopoh tetap menunjukkan keberaniannya melawan penjajah.
Di era di mana masyarakat Minangkabau dilanda penderitaan akibat sistem ekonomi yang dikuasai oleh Belanda, Siti Manggopoh menjadi sorotan. Pajak yang memberatkan dan praktik monopoli atas tanah adat menekan martabat masyarakat. Meskipun perjanjian Plakat Panjang seharusnya melindungi hak-hak mereka, ketidakadilan terus berlangsung.
Puncak ketidakadilan tercapai dengan diterapkannya berbagai macam pajak yang memberatkan, membuat Mande Siti (gelar untuk wanita Minang) merasa harga dirinya diinjak-injak. Pemberontakan pun meletus dari Kamang hingga Manggopoh. Bersama pemuda militan, Siti membentuk badan perjuangan yang terdiri dari 16 orang.
Pada 16 Juni 1908, Perang Manggopoh meletus, yang juga dikenal sebagai Perang Kamang atau Perang Belasting. Sejarah mencatat bahwa Mande Siti berhasil memimpin perang dengan cemerlang. Dalam sebuah aksi yang tak terlupakan, Siti menyusup ke markas Belanda yang sedang mengadakan perjamuan. Ia memberi tanda kepada para pejuang di luar, dan serbuan dimulai.
Para pejuang Manggopoh berhasil membunuh 53 serdadu Belanda tanpa satu pun korban dari pihak mereka. Dua serdadu yang selamat melarikan diri, membawa berita kejam tersebut kepada tentara Belanda. Marsose Belanda kemudian menghancurkan kampung Manggopoh, menelan korban jiwa, namun semangat perlawanan tak padam.
Mande Siti dan anaknya Muhammad Yaman melanjutkan perjuangan dengan gerilya untuk menghindari penangkapan. Pasukan Marsose Belanda yang kejam berhasil membuat Siti menyerah setelah 17 hari berjuang di hutan. Namun, menyerah bukan berarti kalah. Siti Manggopoh menunjukkan keberanian dengan menyerahkan diri demi melindungi rakyatnya, siap mengorbankan nyawanya.
Setelah dipenjara beberapa tahun, Siti Manggopoh dibebaskan. Meskipun belum mendapat gelar Pahlawan Nasional, pemerintah mengakui jasa-jasanya dan menetapkannya sebagai Perintis Kemerdekaan pada tahun 1964. Siti Manggopoh wafat pada 20 Agustus 1965, dan meskipun namanya hampir terlupakan, kisahnya tetap menjadi inspirasi bagi kita semua. Sebuah perjalanan penuh keteguhan yang patut dikenang di tengah hiruk-pikuk sejarah.(*)