SUMATERA BARAT – Sebelas kepala daerah, termasuk Gubernur Sumatera Barat, Wali Kota Bukittinggi, dan sejumlah kepala daerah lainnya, telah mengajukan judicial review terhadap ketentuan Pasal 201 Ayat (7), (8), dan (9) Undang-Undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pengajuan ini dilakukan dengan alasan bahwa pasal-pasal tersebut dapat merugikan para kepala daerah dengan memangkas masa jabatan secara signifikan.
Donal Fariz, koordinator tim hukum dari Visi Law Office yang mewakili penggugat. Menyatakan bahwa pengujian ulang terhadap pasal-pasal tersebut berkaitan erat dengan desain keserentakan Pilkada 2024. Menurutnya, keserentakan ini menimbulkan berbagai masalah dan bertentangan dengan konstitusi, terutama dalam hal pengurangan masa jabatan para kepala daerah.
“Secara persentase, jumlah kepala daerah yang dirugikan mencapai setengah dari jumlah total 546 kepala daerah di seluruh Indonesia. Atau 49,5 persen dari 546 kepala daerah,” ungkap Donal Fariz.
Ada tujuh persoalan atau argumentasi hukum yang diajukan dalam permohonan judicial review. Salah satunya adalah bahwa tidak terdapat perdebatan teknis dan substansial dalam pembahasan jadwal Pilkada serentak nasional tahun 2024. Serta penjadwalan penyelenggaraan Pilkada November 2024 tanpa mempertimbangkan risiko dan implikasi teknis.
Baca Juga : Menemukan Keindahan Alam dan Petualangan Bahari di Sungai Pisang
Para pemohon meminta MK membagi keserentakan Pilkada nasional menjadi dua gelombang. Dengan pelaksanaan gelombang pertama pada November 2024 untuk 276 daerah, dan gelombang kedua pada Desember 2025 untuk 270 daerah. Hal ini diharapkan dapat mengurangi kerugian yang ditimbulkan oleh keserentakan Pilkada.
Proses judicial review ini menjadi langkah hukum yang diambil para Sebelas Kepala Daerah untuk menilai keabsahan Pasal 201 Ayat (7), (8), dan (9) UU Pilkada yang dianggap kontroversial dan berpotensi merugikan bagi kepala daerah yang terkena dampaknya.(*)